Di balik kunjungan delegasi Taliban ke Indonesia

Di balik kunjungan delegasi Taliban ke IndonesiaYon Machmudi, Ph.D (Dokumentasi Pribadi)

WARTABARU.COM – Bagi yang mengikuti proses keterlibatan Indonesia dalam menciptakan perdamaian di Afghanistan tentu tidak akan terkejut dengan kehadiran para utusan Taliban ke Jakarta pada 27 Juli 2019.

Tidak pula salah memaknai dan menganggap itu semua karena kehebatan kelompok Taliban yang mulai diterima oleh dunia internasional.

Justru yang sebenarnya sedang terjadi adalah kesuksesan diplomasi Indonesia dalam meyakinkan Taliban untuk menapaki jalan damai. Sebuah solusi perdamaian yang menjadi kebijakan utama politik luar negeri Indonesia dalam menyelesaikan konflik di dunia internasional. Tentu, prosesnya panjang dan tidak mudah.

Selama ini, Taliban menolak duduk di meja perundingan dengan pemerintah Afghanistan selama Amerika Serikat masih bercokol di Afghanistan. Pemerintah Afghanistan di bawah Presiden Ashraf Ghani sendiri dianggap sebagai pemerintah boneka AS.

Keterlibatan Indonesia dalam mendorong perdamaian di Afghanistan bermula dari kunjungan Presiden Ashraf Ghani ke Jakarta pada 5 April 2017.

Ashraf Ghani takjub dengan Indonesia yang dapat menjalankan demokorasi beriringan dengan Islam. Indonesa juga dinilai sukses dalam menjaga kehidupan yang harmonis dalam keanekaragaman suku dan agama.

Kunjungan berikutnya ditindaklanjuti oleh Karim Khalili (Ketua Majelis Tinggi Perdamaian Afganistan) pada 21 November 2017. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan keinginan rakyat Afghanistan agar Indonesia mau berperan aktif dalam menyelesaikan konflik di Afghanistan.

Harapan itu ditujukan kepada Indonesia karena Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia yang mempromosikan Islam moderat.

Di samping itu, Indonesia dipandang netral, tidak memiliki kepentingan di Afghanistan kecuali keinginan untuk melihat Afghanistan kembali aman dan damai.

Kunjungan balasan dilakukan oleh Presiden Jokowi pada 29 Januari 2018. Ini merupakan kunjungan yang sangat bersejarah karena dinilai sebagai kunjungan pertama presiden Indonesia setelah kunjungan yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno.

Walaupun terhitung singkat, sekitar enam jam, kunjungan ini memberi pesan penting tentang keseriusan Indonesia dalam membantu menyelesaikan konflik di Afghanistan. Sebelum kunjungan Jokowi, Kabul dilanda serangan bom yang menewaskan ratusan jiwa.

Untuk menjalankan fungsi mediator perdamaian, tidak lama setelah kunjungan Jokowi, Jusuf Kalla diutus ke Afganistan guna menghadiri pertemuan dengan para ulama setempat.

Tawaran Indonesia adalah upaya rekonsiliasi yang melibatkan pihak-pihak berseteru di Afganistan (Tempo 27/02/2018). Rekonsiliasi dilakukan dengan melakukan kerja sama dengan para ulama dan pihak-pihak yang berkonflik. Dalam hal ini organisasi Nahdlatul Ulama (NU) menjadi rujukan.

Nampaknya, pihak Taliban mulai tertarik dengan Indonesia yang tidak memiliki hubungan khusus dengan Amerika. Apalagi AS sendiri sudah merencanakan untuk menarik pasukannya dari bumi Afghanistan dan meminta Taliban untuk tidak menjadikan Afghanistan sebagai tempat berkumpulnya teroris internasional, seperti ISIS.

Taliban pun menyetujui permintaan AS dan yakin dapat mengusir kelompok ISIS yang menjadikan Afghanistan sebagai tempat berlindungnya.

Munculnya kesadaran untuk melakukan rekonsiliasi dan adanya kerinduan mendalam akan perdamaian bagi rakyat Afghanistan, baik yang diwakili oleh pemerintah maupun kelompok Taliban, menjadi alasan kuat hadirnya utusan Taliban ke Indonesia.

Tentu reputasi JK sebagai tokoh perdamaian Indonesia yang terlibat dalam proses perjanjian Helshinki maupun Poso semakin melunakkan hati tokoh-tokoh Taliban untuk menyudahi konflik dan perang saudara yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Guna mencari solusi konflik berkepanjangan di Afghanistan diadakanlah sebuah konferensi ulama-ulama Afghanistan, Indonesia dan Pakistan.

Namun, konferenasi ulama internasional itu nyaris tidak membawa keputusan berarti bagi upaya mewujudkan perdamaian antarfaksi ulama yang bertikai. Konferensi diadakan pada 11 Mei 2018 di Istana Bogor ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla tanpa dihadiri oleh ulama-ulama Taliban.

Waktu itu saya mengkritisi forum itu melalui wawancara dengan Harian Republika (11/03/2018) bahwa konferensi ulama tidak akan berarti tanpa kehadiran Taliban. Pemerintah harus berupaya mengajak kelompok Taliban untuk bergabung dalam forum itu.

Sebagaimana disampaikan dalam konferensi ulama tiga negara oleh perwakilan ulama Afghanistan dan juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Afghanistan Fazal Ghani Kakar bahwa tidak adanya perwakilan langsung dari Taliban di dalam pertemuan Bogor karena undangan tidak disampaikan ke kelompok tersebut.

Ulama Taliban dianggap memiliki sudut pandang berbeda dengan ulama sipil di Afghanistan dan Pakistan. Namun mereka berharap pada pertemuan berikutnya kelompok Taliban dapat berpartisipasi (CNNIndonesia, 12/05/2018).

Nampaknya, Taliban mulai menunjukkan kepercayaannya kepada Indonesia sebagai mediator perdamaiaan. Sekitar Agustus 2018, juru bicara Taliban menyatakan kesiapannya untuk berkunjung ke Indonesia. Ini merupakan sinyal positif karena adanya perubahan sikap Taliban yang siap menjadikan Indonesia sebagai perantara perdamaian (Anadolu, 23/08/2018).

Hasilnya, delegasi yang dipimpin langsung oleh Mullah Abdul Ghani Baradar, wakil pimpinan Taliban secara resmi melakukan kunjungan ke Indonesia pada 27 Juli kemarin. Pada Mei 2019, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga sempat menemui Baradar di Doha, Qatar (CNNIndonesia, 27/07/2019).

Rombongan Baradar kemudian bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan melakukan dialog dengan NU dan MUI.

Dikabarkan, konferensi ulama dan akademisi Islam dari Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, akan digelar bulan ini di mana utusan Taliban menyatakan bersedia untuk ikut hadir. Tentu ini adalah perkembangan yang sangat positif bagi masa depan perdamaian di Afghanistan.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kunjungan delegasi Taliban ke Jakarta bukanlah sesuatu yang tiba-tiba tetapi melalui proses panjang.

Tentu apresiasi patut diberikan kepada pemerintah Indonesia yang berkomitmen menjadi mediator perdamaian di Afghanistan hingga dapat mendudukkan faksi-faksi yang bertikai untuk membicarakan masa depan Afghanistan yang aman dan damai.

Taliban pun bukan lagi seperti Taliban dahulu yang keras dan tidak kenal kompromi. Taliban telah mengambil jalan moderasi ditunjukkan dengan sikapnya yang mau mengakui peran Indonesia dalam proses perdamaian bagi rakyat Afghanistan.

Sikap Taliban yang semakin realistis ini sangat membantu dalam menciptakan masa depan Afghanistan yang perlu adanya kelapangan masing-masing kelompok menuju sebuah rekonsiliasi antarfaksi.

Di saat negara-negara di Timur Tengah sedang larut dengan kepentingan masing-masing, Indonesia mulai menunjukkan kepeduliannya dalam membantu Afghanistan. Di sinilah Taliban mulai tergerak menyambut uluran tangan bangsa Indonesia.

Kerja sama antarkelompok dalam bentuk "power sharing" antarkelompok yang beragam di Afghanistan akan mendorong percepatan perdamaian. Diharapkan dengan rekonsiliasi ini akan terbangun pemerintahan yang lebih solid dan independen.

Pertemuan ulama Afghanistan yang di dalamnya ada faksi Taliban dengan ulama Indonesia dan Pakistan tentu akan menjadi momentum penting, di mana agama menunjukkan signifikansinya sebagai bagian dari resolusi konflik.

Hadirnya utusan Taliban ke Indonesia adalah kerja keras pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan sudah selayaknya mendapatkan apresiasi dan dukungan publik Indonesia. Semoga perdamaian abadi segera terwujud.

*) Yon Machmudi, Ph.D adalah Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Demikian berita ini dikutip dari ANTARANEWS.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Top